MAKALAH
Dipresentasikan Pada Mata Kuliah “Ilmu
Kalam’’
Dosen pembimbing:
Disusun oleh :
Muhammad Nur
Sholihin
Agus Salim
Bonin
Semester
II
Sekolah
Tinggi Agam Islam Nahdlatul Ulama
JAKARTA
2013 M/1434 H
PENGANTAR PENULIS
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur
penulis panjatkan kehadirat Allah. Berkat rahmat, hidayah serta bimbingan-Nya
semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai. Sholawat serta salam
semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah Muhammad, SAW.
Makalah
ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam. Dalam penulisan
makalah ini, penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan
yang terbatas, maka makalah yang berjudul “Kaum Mutazilah”, ini masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak.
Penulis berharap dari makalah yang penulis susun ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca. Demikianlah
makalah ini penulis susun, kritik serta saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk melengkapi makalah ini.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Penulis
DAFTAR
ISI
PENGANTAR PENULIS.................................................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Asal-usul dan Penamaan Kaum Mu’tazilah.................................................................. 2
B. Ajaran-ajaran Kaum Mu’tazilah.................................................................................. 4
C. Pendapat Para Golongan yang Bersebrangan.............................................................. 5
D. Analisis....................................................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................ 9
B. Saran......................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak aliran dan madzhab yang timbul
sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatar belakang
politik yang kemudian aliran tersebut
berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah ( teologi ), hingga
bermacam madzhab Fikih, Tasawauf dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif,
maka beragamnya aliran dan madzhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam
adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah
umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau
berfikir. Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu,
tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi,
khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah
teologi. Salah satunya adalah golongan Mu’tazilah atau yang sering disebut
dengan kaum Mu’tazilah.
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah
dengan nyeleneh, sesat, cenderung merusak tatanan agama Islam, dan
dihukumi telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang
menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa
keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali
ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian
banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong
kontroversial.[1]
Agar tidak terjebak dalam kontroversi
dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji
kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di
setiap sisinya. Oleh karena itu, penulis akan
mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang tersebut di
atas, maka setidaknya ada beberapa masalah yang akan di bahas dalam makalah
ini, yaitu :
1. Bagaimanakah asal-usul dan penamaan kaum Mu’tazilah?
2. Apa saja ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah ?
3. Bagaimanakah pendapat para golongan yang bersebrangan ?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah berdasarkan rumusan masalah di atas adalah :
1. Untuk memberitahukan asal-usul dan penamaan kaum Mu’tazilah
serta para tokoh yang mempengaruhinya.
2. Untuk memberitahukan ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah.
3. Untuk memberitahukan pendapat para golongan yang
berseberangan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul
dan Penamaan Kaum Mu’tazilah
Secara bahasa kata mu’tazilah berasal dari kataعزل atau اعتزل yang
berarti memisahkan diri, sedangkan menurut istilah adalah:
المعتزلة فرقة من المتكلمين يخالفون أهل السنة في بعض المعتقدات على
رأسهم واصل بن عطاء اعتزل بأصحابه حلقة الحسن البصري.
·
Mu’tazilah:
Sebuah firqoh / kelompok dari para mutakallimin yang menyelisihi Ahlus Sunnah
di sebagian Aqidah, dan diketuai oleh Wasil bin Atho’ yang memisahkan diri
beserta para sahabatnya dari halaqoh Hasan Al Basri.
قوم من القدرية يلقبون المعتزلة زعموا أنهم
اعتزلوا فئتي الضلالة عندهم يعنون أهل السنة والجماعة والخوارج الذين يستعرضون
الناس قتلا
·
Mu’tazilah:
Kaum dari Qodariyah yang dijuluki dengan Mu’tazilah dengan dugaan / karena
mereka memisahkan diri dari dua kelompok yang mereka anggap sesat yaitu Ahlu
Sunnah wal Jamaah dan Khawarij yang mengobarkan peperangan diantara manusia.
Mu’tazilah merupakan isim fa’il yang berakar dari
kata ‘azala-i’tazala, yang berarti memisahkan-menyingkir atau memisahkan
diri. Maka secara bahasa Mu’tazilah berarti orang yang memisahkan diri.[2] Menurut[3] Tetapi
kalau kita kembali ke ucapan-ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita
jumpai di s Hanafi dalam bukunya menyebutkan bahwa nama “Mu’tazilah“ bukan
ciptaan orang-orang Mu’tazilah sendiri, tetapi diberikan oleh orang lain.
Orang-orang Mu’tazilah menamakan dirinya “ahli keadilan dan keesaan“ (ahlul
adli wat tauhid ).ana keterangan-keterangan yang dapat memberi kesimpulan
bahwa mereka sendirilah yang memberikan
nama itu kepada golongan mereka, atau sekurang-kurangnya mereka setuju dengan
nama itu. Al-Qadi Abdul Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa kata-kata i’tazala
yang terdapat dalam al-Quran mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak
benar, dengan demikian kata mu’tazilah mengandung arti pujian.[4] Kaum
Mu’tazilah merupakan golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa
kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga
mereka mendapat nama “kaum rasional Islam”.
Menurut al-Baghdadi, Wasil dan temanya, ‘Amr Ibn Ubaid Ibn
Bab diusir oleh Hasan al-Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian antara
mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan al-Basri dan mereka serta pengikut-pengikutnya
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham halaqah
gurunya tentang orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang seperti itu
tidak mukmin dan tidak kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian
nama Mu’tazilah kepada golongan ini.[5]
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain, yaitu dengan tidak
mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian faham antara Wasil
dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri dari pihak lain. Mereka disebut
kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan
mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya.
Di samping keterangan-keterangan klasik ini, ada teori baru
yang dimajukan oleh Ahmad Amin, bahwa Mu’tazilah sudah ada sebelum adanya
peristiwa Wasil dengan Hasan al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang
posisi di antara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie
terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian
politik yang terjadi di zaman ‘Usman Ibn ‘Affan dan ‘ Ali Ibn Abi Thalib.[6]
Dan sejak Islam meluas, banyaklah bangsa-bangsa yang masuk
Islam untuk hidup dibawah naungannya. Akan tetapi tidak semuanya memeluk agama
dengan segala keikhlasan. Ketidakikhlasan ini terutama dimulai sejak zaman
Mu’awiyah, karena mereka telah memonopoli segala kekuasaan pada bangsa Arab
sendiri. Tindakan ini menimbulkan
kebencian terhadap bangsa Arab dan keinginan menghancurkan Islam dari dalam,
sumber keagungan dan kekuatan mereka. Diantara musuh-musuh Islam dari dalam ialah golongan Rafidlah, yaitu
golongan Syi’ah ekstrim yang banyak mempunyai unsur-unsur kepercayaan yang jauh
sama sekali dari ajaran Islam, seperti kepercayaan sceptic yang pada
waktu itu tersebar luas di kota-kota Kufah dan Basrah, juga golongan tasawuf incarnasi
termasuk musuh Islam.
Dalam keadaaan demikian itu muncullah golongan Mu’tazilah
yang berkembang dengan pesatnya sehingga mempunyai sistem/metode dan pendapat-pendapatnya
sendiri.[7] Dari
pendapat-pendapat diatas dapat diketahui bahwa untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya
memang sulit.[8] Berbagai pendapat dimajukan ahli-ahli, tetapi
belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama Mu’tazilah
sebagai designatie bagi aliran teologionil dan liberal dalam
Islam timbul sesudah peristiwa dengan Hasan al-Basri di Basrah.
Golongan Mu’tazilah mencapai masa keemasan pada masa Khilafah
bani Abbasiyah. Pada masa itu aliran ini menjadi ajaran resmi kerajaan. Ketika
terjadi fitnah alqur’an makhluq, Imam Ahmad bin Hambal yang menolak perintah Al
Makmun untuk mengakui bahwa alqur’an adalah makhluq (haditz) mendapatkan
ujian pada masa Al Mu’tashim, berupa dipenjara dan disiksa dengan cambuk. Setelah
wafatnya almakmun, ia menetap dipenjara selama dua tahun setengah, kemudian
dikembalikan ke rumahnya dan menetap disana sepanjang kekhalifahan Mu’tashim
dan anaknya, Al Watsiq.
Ketika Al Mutawakkil memegang tampuk kekhilafahan pada tahun
232 H, ia memenangkan Ahlus Sunnah dan memuliakan Imam Ahmad, serta melarang
ajaran Mu’tazilah atas hukum dan percobaan pemaksaan aqidah mereka selama empat
puluh tahun.
B.
Ajaran Ajaran Mu’tazilah
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya (al-Farqu bainal Firaqi)
aliran Mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan, dua diantaranya dianggap
telah keluar dari Islam. Meskipun terpecah-pecah, namun semuanya masih
tergabung dalam kelima pokok ajaran mereka, yaitu :
a. Tauhid (
pengesaan )
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya
tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah, tetapi karena mereka
menafsirkannya sedemikian rupa[9]
dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli
tauhid.
b. Al-Adl (
keadilan )
Dasar keadilan ialah meletakkan pertanggungan jawab manusia
atas segala perbuatannya. Dengan dasar keadilan ini mereka menolak pendapat
golongan Jabbariyyah yang mengatakan bahwa manusia dalam segala perbuatannya
tidak mempunyai kebebasan, bahkan menganggap suatu kezaliman menjatuhkan siksa
kepadanya.[10]
c. Al-Wa’d wal
Wa’id ( janji ancaman )
Prinsip ini adalah kelanjutan prinsip keadilan yang harus
ada pada Tuhan. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa janji Tuhan akan memberikan
pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau neraka pasti dilaksanakan,
karena Tuhan sudah menjanjikan demikian.
Siapa yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula. Tidak ada
pengampunan terhadap dosa besar tanpa taubat.
d. Al-Manzilah baina
al-Manzilatain ( tempat di antara dua tempat )
Prinsip ini sangat penting yang karenanya Wasil bin Atha’
memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat
dosa besar selain syirik, tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi
kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir.
e. Amar ma’ruf nahi
munkar ( perintah kebaikan dan melarang kejahatan )
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan taklif
dan lapangan fiqih daripada lapangan kepercayaan atau tauhid. Banyak ayat-ayat
Qur’an yang memuat prinsip ini. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap orang
Islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang sesat.
Sejarah menunjukkan betapa hebatnya golongan Mu’tazilah mempertahankan Islam dari
pengaruh kesesatan-kesesatan yang tersebar luas pada permulaan masa Abbasiyah,
yang hendak menghancurkan kebenaran-kebenaran Islam, bahkan tidak
segan-segannya menggunakan kekerasan dalam melaksanakan prinsip tersebut, meskipun
terhadap golongan-golongan Islam sendiri.[11]
C.
Pendapat Para Tokoh yang Berseberangan
Kaum Mu’tazilah, sebagaimana yang telah di jelaskan di atas,
sudah tak mempunyai wujud, kecuali dalam sejarah. Aliran Mu’tazilah masih
dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari aliran Islam dan dengan demikian
tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia. Kaum Mu’tazilah
tidak disukai karena sikap mereka yang memakai kekerasan dalam menyiarkan
ajaran-ajaran mereka dipermulaan abad ke sembilan Masehi. Kesalahpahaman
terhadap aliran Mu’tazilah timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan
dipelajari lagi dalam perguruan-perguruan tinggi Islam, kecuali mulai dari
permulaan abad ke XX ini dan itupun hanya di perguruan tinggi tertentu seperti
Al Azhar. Kebanyakan hanya membaca buku-nuku yang ditulis oleh para pengikut ajaran
teologi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, sebagai lawan dari Mu’tazilah,
tulisan-tulisan mereka tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah tidak selamnya bersifat
objektif. Bahkan di antara pengarang-pengaraang itu ada yang tak segan-segan
mencap kaum Mu’tazilah sebagai golongan kafir. Al-Baghdadi, umpamanya, menyebut
mereka golongan tersesat ( firaq al-dhalal ), dan selalu memakai kata
bid’ah, fadihah (perbuatan yang memalukan ) dan dhalalah (
kesesatan ) dalam menggambarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Kata takfir (
memandang kafir ) juga selalu di pakai.[12]
Tetapi atas pengaruh Jamaluddin Afgani dan Syekh Muhammad
‘Abduh, sebagai dua pemimpin modernisme yang utama dalam Islam, keadaan di atas
telah mulai berubah. Telah ada pengarang-pengarang, bahkan alim ulama yang
mulai membela kaum Mu’tazilah. Al-Nasysyar, Guru Besar Falsafat Islam di
Universitas Alexandria umpamanya, mengatakan bahwa orang-orang mu’tazilah
terkenal sebagai orang yang zahid, bertakwa, dan banyak beribadaah. Ia sendiri
berpendapat bahwa al-nazzam, salah satu tokoh mu’tazilah, adalah orang lurus
serata benar yang banyak usahanya membela Islam.[13]
Ahmad Mahmud Subhi, Dosen Falsafat Islam di Universitas
Alexandria, menerangkan bahwa faham yang mengatakan al-i’tizal sama artinya
dengan perpecahan, timbul sesudah abad ke IV H. Tetapi dalam
penyelidikan-penyelidikan baru yang diadakan tidak kita jumpai alasan-alasan
kuat untuk membenarkan pendapat lawan-lawan Mu’tazilah, dan kebanyakannya dari
golongan Asy’ariah, bahwa al-i’tizal berarti perpecahan dari aliran Ahli Sunnah
dan Jama’ah.[14]
Ahmad Amin sendiri berpendapat bahwa kaum Mu’tazilahlah
golongan Islam yang pertama memakai senjata yang dipergunakan lawan-lawan Islam
dari golongan Yahudi, Kristen, Majusi dan Materialist dalam menangkis
serangan-serangan terhadap Islam dipermulaan kerajaan Bani Abbasiyyah.[15] Selanjutnya
dia mengatakan, hanya Allah yang tahu bahaya apa yang akan menimpa umat Islam
jika sekiranya tidak ada kaum muktazilah yang dengan kemajuan pemikirannya
mampu menyelamatkan islam pada masa itu.[16]
Dari kalangan alim ulama, Syekh Muhammad Yusuf Musa, dari
al-Azhar, dalam uraiannya mengenai kaum Mu’tazilah dan kaum Asy’ariah,
mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengandung nada setuju dengan ajaran-ajaran
Mu’tazilah tersebut, terutama ketika membicarakan faham qadariah Mu’tazialah
dan faham kasb kaum Asy’aariah. Faham
kemerdekaan manusia dalam kemauan dan perbuatan yang dikandung ajaran qadariah
dari kaum Mu’tazilah, dengan sendirinya membawa kepada faham dibatasinya
kekuasaan mutlak Tuhan. Beliau menulis:
“Menurut pendapat kami,
Tuhan yang kemauannya dibatasi oleh orang lain adalah Tuhan yang bersifat
lemah. Sebaliknya, Tuhan yang kemauan dan kekuasaan-Nya bersifat mutlak tanpa
mengindahkan peraturan dan hikmah adalah Tuhan yang tidak membawa kebaikan bagi
alam. Dengan demikian tuhan yang betul-betul adil adalah Tuhan yang dengan
kemauannya sendiri membatasi kemauan dan kekuasaan-Nya dengan bijaksana.”
Lain lagi dengan, Syekh ‘Ali Mustafa al-Ghurabi, Guru Besar
di Fakultas Syari’ah di Mekkah, beliau berpendapat bahwa, di zaman modern dan
kemajuan ilmu pengetahuan serta teknik sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah
yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali di kalangan umat Islam
terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai
paham-paham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Mempunyai
paham yang demikian tidaklah membuat mereka ke luar dari Islam.[17]
D.
Analisis
Dari pembahasan diatas, perlu penulis akui masih sulitnya
untuk mencari referensi yang betul betul netral yang mengkaji tentang ajaran
ini. Buku-buku yang ada kebanyakan menyudutkan Mu’tazilah. Hal ini tidak lepas
dari kekuasaan Islam yang lebih dominan dikuasai kaum sunni semenjak jaman
Turki Utsmani dan Moghul India. Hal ini tidak lepas dari sejarah yang selalu
memihak kepada pemegang kekuasaan dan sejarah cenderung subyektif .
Perlu dicatat bahwa pada masa keemasan Mu’tazilah adalah
masa kemajuan Islam. Mereka telah banyak berjasa dalam mengembangkan agama ini.
Negara Islam menjadi negara yang disegani dan ditakuti oleh Negara lain
didunia.
Menurut penulis, paham Mu’tazilah patut juga dipelajari bagi
orang-orang yang betul- betul faham tentang keilmuan Islam. Jika Mu’tazilah
dihukumi sesat itu semua tidak lepas dari para pelakunya yang cenderung
kebablasan sehingga “menuhankan” akal serta kekuatannya. Perbedaan yang ada
sebenarnya adalah pada keyakinan tentang kekuatan ikhtiar Manusia.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah penulis menyelesaikan pembahasan tentang “ Kaum
Mu’tazilah “ maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa :
Aliran Mu’tazilah masih dipandang sebagai aliran yang
menyimpang dari aliran Islam dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian
umat Islam, terutama di Indonesia. Kaum Mu’tazilah tidak disukai karena sikap
mereka yang memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka dipermulaan
abad ke sembilan Masehi. Kesalahpahaman terhadap aliran Mu’tazilah timbul,
karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi dalam perguruan-perguruan
tinggi Islam, kecuali mulai dari permulaan abad ke XX ini dan itupun hanya di
perguruan tinggi tertentu.
B.
Saran
Hendaknya sebagai generasi muda kita
mengambil sisi-sisi positif pemikiran dan buah peradaban kaum muktazilah yang
menjadikan Islam jaya pada masanya.
DATAR PUSTAKA
Amin, Ahmad, Dhuha Al-Islam,
Kairo: Al-Nahdah, 1964.
______, Fajr Al-Islam, Kairo:
Al-Nahdah, 1965.
Baghdadi, Abdul Qahir, Al-, Al-farq
Baina al-Firaq, Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadidah, 1997.
Hanafi, Ahmad, Theology Islam ( Ilmu
Kalam ). Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996.
http://ragab304.wordpress.com , diakses
17 Maret 2012
Nasyar,
Al-, Nasyah Al-Fikr Al-Falsafi Fi Al-Islam, Kairo, 1996,
Nasution, Harun. Aliran-aliran
Sejarah Anlisa Perbandingan. Jakarta : UI Press. 2011.
Subhi,
Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilmi Al-Kalam, Kairo:
Dar Al-Kutub Al-jamiah, 1996.
[1]
http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok,
diakses tanggal 06/04/2013 pukul 08.30
[2]
http://ragab304.wordpress.com/2009/02/05/mutazilah-asal-usul-dan-ide-ide-pokok,
diakses tanggal 06/04/2013 pukul 08.30
[4] Harun
Nasution, Teolog Islam : Aliran-aliran Sejarah Anlisa Perbandingan, (
Jakarta : UI Press, 2011 ), hal 44
[5]
Harun
Nasution, Teolog Islam , 38.
[6] Harun
Nasution, Teolog Islam, 41.
[7]Ahmad
Hanafi, Theology Islam, 40-41.
[9]Mereka
mengatakan bahwa allah tidak memiliki sifat-sifat diluar dzatnya. Allah
mengetahui dengan ilmunya Allah, dan ilmu itu adalah dzat Allah itu sendiri.
Lih. Al-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, (Beirut: dar Al-Ma’rifah,
1404 H), juz 1, hal 42.
[10]
Ahmad
Hanafi, Theology Islam, 42-43
[11]
Ahmad
Hanafi, Theology Islam, 43-45
[12]
Abdul
Qahir Al baghdadi, Al-Farq Baina Al-Firaq, (Beirut: Dar Al-Afaq
Al-Jadidah, 1997), hal 93.
[13]
Al
Nasyar, Nasyah Al-Fikr Al-Falsafi Fi Al-Islam, Kairo, 1996, jilid 1, hal
582.
[14]
Ahmad
Mahmud Subhi, Fi ‘Ilmi Al-Kalam, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-jamiah, 1996)
hal. 77.
[15]
Ahmad
Amin, Dhuha Al-Islam, (Kairo: Al-Nahdlah,1964), jilid 3, hal 206.
[16]
Ahmad
Amin, Fajru Al-Islam, (Kairo: Al-Nahdlah,1965), hal 299-300
[17]
Harun
Nasution, Teolog Islam , l58-60
0 komentar:
Posting Komentar
Monggo komentar disini ^_^