DAFTAR
ISI
Daftar Isi...................................................................................................... 2
BAB
I: PENDAHULUAN...................................................................... 3
A.
Latar
Belakang............................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah....................................................................................... 3
BAB
II: PEMBAHASAN................................................................................. 4
A.
Sejarah
Munculnya Bani Umayyah...................................................................... 4
B.
Pendidikan pada masa bani umayyah............................................................... 5
1.
Lembaga pendidikan pada masa Bani Umayyah................................ 5
2.
Kurikulum Pendidikan Islam pada Masa Bani
Umayyah.................... 11
3.
Pendidik (guru) Pada Masa Bani Umayyah.....................3
4.
Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah.............................. 15
5.
Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani
Umayyah........... 17
BAB
III: PENUTUP..................................................................................... 22
A.
Kesimpulan............................................................................................. 22
B.
Saran................................................................................................................ 22
Bab
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Membuka kembali
lembaran-lembaran sejarah peradaban Islam bagaikan membuka sebuah tirai
pertunjukan yang pernah eksis beberapa abad yang lalu. Ukiran-ukiran sejarah
itu ada yang ditulis dengan tinta emas karna keindahan serta keagungannya, tetapi
ada pula yang harus ditulis dengan darah dan air mata karena perihnya peristiwa
yang menyertainya. Sejak perjalanan Nabi Muhammad saw. Sebagai pembuka sejarah
peradaban tersebut, sampai dengan runtuhnya Turki Usmani adalah bagian dari
lembaran lembaran berharga tersebut. Dinasti Bani Umayyah adalah salah satu
bagian dari fragmen catatan sejarah yang dimaksud diatas.
Bani
Umayyah sendiri adalah sebutan masa kekhalifahan setelah Khulafaur Rasyidin
terakhir yaitu Ali Bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam sirah
perjalanan Islam sejak meninggalnya Ali Bin Abi Thalib sebgai khalifah terakhir
dari khulafaur rasyidin. Terdapai banyak aspek yang dapat dibahas mengenai masa
kekhalifahan Bani Umayyah karena lamanya rentang waktu serta banyaknya khalifah
yang menjadi pemimpin pada masa ini. Dan secara khusus dalam makalah ini akan
dibahas mengenai beberapa aspek terkait pendidikan dari masa kekhalifahan Bani
Umayyah yang terangkum dalam rumusan masalah makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah yang
diangkat dalam makalah ini:
1)
Sejarah munculnya daulah Bani umayyah
2)
Lembaga Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
3) Kurikulum Pendidikan Islam
pada Masa Bani Umayyah
4) Pendidik (guru) Pada Masa
Bani Umayyah
5) Peserta Didik (Murid) Pada
Masa Bani Umayyah
6) Pendanaan Pendidikan Islam
Pada Masa Bani Umayyah
Bab
II
Pembahasan
A. Sejarah Munculnya Daulah Bani Umayyah
Pada tahun 25 H Utsman bin Affan
menjadi khalifah yang ke tiga
menggantikan khalifah Umar bin Khattab yang wafat. Dan pada tahun 35 H
utsman bin affan meninggal karena dibunuh oleh Abdullah Bin Saba (seorang
pendeta yahudi dari yaman yang masuk islam). Maka tahta pemerintahan
khulafaurrasidin jatuh ketangan Ali bin Abhi Thalib sebagai khalifah yang ke
empat (terakhir) dalam kekhalifahan khulafaurrasidin.[1]
Pada masa pemerintahan khalifah Ali
terjadi hal-hal yang tidak di inginkan oleh umat islam bukan sebab khalifah Ali
melainkan situasi dan kehendak sejarah yang berjalan seperti itu. Ada empat
golongan pada masa ini antara lain:
Golongan Syi`ah yang menyokong penuh
pengangkatan Ali bin Abhi thalib sebagai khalifah menggantikan khalifah Utsman
bin Affan.
Golongan Mu`awiyah bin Abu Sofyan, wali
(Gubernur) yang di angkat khalifah utsman di Damaskus, Syria, yang tidak
megakui khalifah Ali dan menganggap Khalifah Ali bersalah dan ikut canpur dalam
pembunuhan khalifah Utsman. Golongan Mu`awiyah di Syria mengangkat Mu`awiyah
menjadi khalifah pengganti khalifah Utsman bin Affan. Maka terjadilah dua orang
khalifah yang satu di Madinah (khalifah yang sah),dan tandingannya di Syria
ialah Mu`awiyah bin Abu Sufyan.
Golongan yang ketiga ialah Siti Aisyah
dan diikuti oleh Thalhah bin Zubair. Golongan ini tidak mengakui pengangkatan
khalifah Ali karena pengangkatan dengan paksaan tetapi tidak menyalahkan
khalifah Ali dalam soal pembunuhan terhadap khalifah Utsman. Maka timbulah
peperangan yang disebut Perang Jamal.
Golongan keempat ialah Abdullah bin
Umar anak Umar bin Khattab, dan diikuti oleh sahabat yang lain yaitu Muhammad
bin Salamah. Utsman bin Zaid, S`ad bin Abi Waqash, Hasan bin Tsabit dan
Abdullah bin Salam. Golongan ini bersikap Netral, mereka lebih menjauhkan diri
dari dunia politik.[2]
Yang akan kami bahas disini ialah
perselisihan antara Khalifah Ali bin Abhi Thalib dengan Mu`awiyah bin Abu
Sofyan yang akan menimbulkan sejarah yang penting bagi umat islam yaitu
runtuhnya kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah Bani Umayyah.
Pada tahun 37 H terjadilah suatu perang
yang sangat terkenal dalam dunia islam yaitu “Perang Shiffin” atau perang
saudara, antara pasukan khalifah Ali melawan pasukan Mu`awiyah di suatu daerah
di irak yang dinamakan “Shiffin’.
Peperangan ini sangat besar, dipihak
khalifah Ali sebanyak 25.000 tentara gugur dan dari pihak Mu`awiyah sebanyak
45.000 orang wafat. Jalannya peperangan sangat menguntungkan pasukan Ali hampir
seluruh pasukan Mu`awiyah lari
kucar-kacir. Akan tetapi mereka menjalankan siasat, yaitu menyerukan “cease
fire” (penghentian tembak menembak).[3]
Mereka mengikatkan beberapa kitab suci
Al-Qur`an diujung tombak mereka dan mengacungkan sambil meneriakan penghentian
tembak menembak dan berhukum kepada Al-Qur`an. Khalifah Ali pada mulanya tidak
mau menerima ajakan ini karena beliau tahu bahwa hal ini merupakan siasat dari
orang yang hampir kalah, minta menghentikan peperangan untuk sementara menyusun
kekuatan kembali. Tetapi khalifah Ali di desak oleh sebagian tentaranya
sehingga khalifah Ali menerima tawaran penghentian tembak menembak dan
berhentilah peperangan.
Pasukan ali pulang ke Baghdad dan
pasukan Muawiyah ke Damaskus. Maka di susun delegasi kedua belah pihak untuk
melanjutkan perundingan, pihak khalifah Ali di wakili oleh Abu Musa al-Asyari
dan pihak Muawiyah di wakili oleh Amru bin Ash. Amru bin Ash adalah seorang
ahli siasat yang ulung sekali sementara Abu Musa al-Asyari seorang sahabat nabi
yang jujur dan sholeh, maka dari itu delegasi Muawiyah yang di wakili oleh Amru
bin Ash menang dalam tahkim dan akhirnya khalifah Ali di berhentikan dari
jabatannya sebagai khalifah.[4]
Maka dari itu runtuhlah kekhalifahan khulafaurrasidin dan berdirinya daulah
Bani Umayyah.
B. Pendidikan
Pada Masa Bani Umayyah
1. Lembaga
Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
Pada umumnya lembaga pendidikan Islam dimasa
ini diklasifikasikan atas dasar muatan kurikulum yang diajarkan. Dalam hal ini,
kurikulumnya meliputi pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Atas dasar ini,
lembaga pendidikan Islam di masa klasik menurut Charles Michael Stanton[5]
digolongkan kedalam dua bentuk, yaitu lembaga pendidikan formal dan nonformal,
di mana yang pertama mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan yang kedua
mengajarkan pengetahuan umum, termasuk filsafat. Sementara George Makdisi dalam
hal yang sama menyebutnya sebagai lembaga pendidikan ekslusif (tertutup) dan
lembaga pendidikan inklusif (terbuka). Tertutup artinya hanya mengajarkan
pengetahuan agama, dan terbuka artinya menawarkan pengetahuan umum.
Adapun lembaga pendidikan Islam yang ada
sebelum kebangkitan madrasah pada masa Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
a.
Shuffah
Pada masa Rasulullah Saw, shuffah adalah suatu
tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan[6].
Biasanya tempat ini menyediakan tempat pemondokan bagi pendatang baru dan
mereka tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal Alquran
secara benar dan hukum Islam dibawah bimbingan langsung dari nabi. Pada masa
ini setidaknya telah ada sembilan shuffah yang tersebar dikota Madinah. Dalam
perkembangan berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar
berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi, dan ilmu fonetik.
b.
Kuttab/Maktab
Kuttab/Maktab berasal dari kata dasar yang
sama, yaitu kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab/maktab berarti
tempat untuk menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis[7].
Kebanyakan para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merupakan istilah
yang sama dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan
membaca dan menulis kemudian meningkat pada pengajaran Alquran dan pengetahuan
agama tingkat dasar[8]. Namun
Abdullah Fajar membedakannya, ia mengatakan bahwa maktab adalah istilah untuk
zaman klasik, sedangkan kuttab adalah istilah untuk zaman modern[9].
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum
pendidikan di kuttab ini berorientasi kepada Alquran sebagai suatu textbook.
Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa
Arab, sejarah nabi hadist khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Saw.
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan
pengetahuan umum disamping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya
persentuhan antara Islam dengan warisan budaya helenisme sehingga banyak
membawa perubahan dalam kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangan
berikutnya kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan
pengetahuan non agama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan
ilmu agama (religious learning)[10].
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut
dapat dikatakan bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga
pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban helenisme
menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk
filsafat.
c.
Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Artinya, proses
belajar mengajar di sini dilaksanakan di mana murid-murid melingkari gurunya.
Seorang guru biasanya duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau
memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa
terjadi di masjid atau di rumah-rumah. Kegiatan halaqah ini tidak khusus untuk
mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum,
termasuk filsafat. Oleh karena itu halaqah ini dikelompokan kedalam lembaga
pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Dilihat dari segi ini,
halaqah dikatagorikan kedalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat
dengan college.[11]
d.
Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan
sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat
pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya di saat dunia
pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas
pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai
sejumlah aktivitas pembelajaran, sebagai contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis
yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-syafi’i artinya majlis yang
mengajarkan fiqih imam Syafi’i.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam
Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga
majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai
berikut:
1)
Majlis al-Hadits, majlis ini diselenggarakan
oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majlis
untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya. Majlis ini berlangsung antara
20-30 tahun. Dan jumlah peserta yang ikut majlis ini mencapai ratusan ribu
orang, seperti majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di Masjid al-Rusafa
diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang.
2)
Majlis al-Tadris, majlis ini biasanya menunjuk
majlis selain daripada hadist, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis
kalam.
3)
Majlis al-Munazharah, majlis ini dipergunakan
untuk sarana perdebatan mengenai suatu masalah oleh para ulama. Menurut
Syalabi, khalifah Muawiyah sering mengundang para ulama untuk berdiskusi di
istananya, demikian juga khalifah Al-Ma’mun pada dinasti Abbasiyah. Diluar
istana majlis ini ada yang dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan
ada yang berupa kontes terbuka dikalangan ulama, untuk model ini biasanya hanya
dipakai untuk mencari popularitas ulama saja.
4)
Majlis al-Mudzakarah, majlis ini merupakan
inovasi dari murid-murid yang belajar hadist. Majlis ini diselenggarakan
sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat serta mengulang pelajaran
yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan
berikutnya, majlis al-Muzakarah ini dibedakan berdasarkan materi yang
didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadits, materi hadits, perawi hadits,
hadits-hadist dho’if korelasi hadits dengan bidang ilmu tertentu dan
kitab-kitab musnad.
5)
Majlis al-Syu’ara, majlis ini adalah lembaga
untuk belajar syair, dan sering dipakai untuk kontes para ahli syair.
6)
Majlis al-Adab, majlis ini adalah tempat untuk
membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah, dan laporan bersejarah
bagi orang-orang yang terkenal.
7)
Majlis al-Fatwa dan al-Nazar, majlis ini
merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah dibidang hokum
kemudian difatwakan. Disebut juga majlis al-Nazhar karena karakteristik majlis
ini adalah perdebatan antara ulama fiqih atau hukum Islam.
e.
Masjid
Semenjak berdirinya pada masa Nabi Muhammad
Saw, masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum
Muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Namun yang
lebih penting adalah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan
masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana informasi dan
penyampaian doktrin ajaran Islam.[12]
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan
perkembangan yang terjadi di masyarakat. Terlebih lagi pada saat masyarakat
Islam mengalami kemajuan, urgensi masyarakat kepada mesjid menjadi sangat
kompleks. Hal ini menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk,
yaitu masjid tempat shalat Jum’at atau jami’ dan masjid biasa.[13]
Jumlah jami lebih sedikit dibanding
dengan jumlah masjid. Di Baghdad hanya ada 6 jami, sedangkan masjid jumlahnya
mencapai ratusan, demikian juga di Damaskus, sedikit sekali jumlah jami dari
pada masjid. Namun di Cairo jumlah jami cukup banyak. Jami maupun masjid
keduanya digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan Islam. Namun jami memiliki
halaqah-halaqah, majlis-majlis dan zawiyah-zawiyah (menurut Abdul Fajar,
zawiyah sama dengan kuttab dalam hal pendidikan dasar, namun muatan kurikulum
lebih tinggi karena memasukan pendidikan moral dan spiritual atau tasawuf).
Ada perbedaan penting antara jami dengan
masjid. Jami dikelola dibawah otoritas penguasa atau khalifah memiliki otoritas
yang kuat dalam hal pengelolaan seluruh aktivitas jami, seperti kurikulum
tenaga pengajar, pembiayaan dan lain-lain. Sementara masjid tidak berhubungan
dengan kekuasaan. Namun demikian, baik jami maupun masjid termasuk lembaga
pendidikan setingkat college.
Kurikulum pendidikan di masjid biasanya
merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah,
seperti qadhi, khotib, dan imam masjid. Melihat kaitan antara masjid dan
kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan
formal.[14]
f.
Khan
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan
barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang banyak
memiliki toko, seperti khan al-Narsi yang berlokasi di alun-alun Karkh di
Baghdad. Selain itu, khan juga berfungsi sebagai asrama untuk murid-murid dari
luar kota yang hendak belajar hukum Islam pada suatu masjid, seperti khan yang
dibangun oleh Di’lij ibn Ahmad ibn Di’lij di Suwaiqat Ghalib dekat makam
Suraij. Disamping fungsi itu, khan juga digunakan sebagai sarana untuk belajar
privat.
g.
Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang
ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk
semata-mata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keilmuan yang
dipimpin oleh seorang syaikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya.
h.
Rumah-rumah Ulama
Rumah sebenarnya bukan tempat yang nyaman untuk
kegiatan belajar mengajar. Namun para ulama dizaman klasik (bani Umayyah dan
bani Abbasiyah) banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan
belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan
karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di
masjid, sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu
darinya.[15]
i.
Toko-toko Buku dan perpustakaan
Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam
kegiatan keilmuan Islam. Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku, tapi
berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin
sering dilaksanakan disitu. Disamping toko buku, perpustakaan juga memiliki
peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan islam.
j.
Rumah Sakit
Rumah sakit pada masa bani Umayyah bukan hanya
berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga
mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan
dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam
bidang kedokteran dan obat-obatan juga dilaksanakan sehingga ilmu kedokteran
dan obat-obatan berkembang cukup pesat.
k.
Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal
Badawi)
Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab
banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang
beragama Islam. Namun, bahasa Arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan
kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami
kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga bahasa Arab menjadhi bahasa pasaran. Namun
tidak demikian halnya dibadiah-badiah, mereka tetep mempertahankan keaslian dan
kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian badiah-badiah ini merupakan sumber
bahasa Arab yang asli dan murni.
Oleh karena itu, badiah-badiah menjadi pusat
untuk sumber belajar pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni, sehingga banyak
anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah
dalam rangka mempelajari ilmu bahasa kesusastraan Arab. Dengan begitu,
badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
2. Kurikulum
Pendidikan Islam pada Masa Bani Umayyah
Runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5 M
merupakan awal dari “zaman pertengahan yang gelap”, yaitu ketika Eropa
mengalami kemunduran peradaban. Sementara di timur (negeri-negeri Islam)
peradaban mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga Islam selama kurang
lebih 5 abad menjadi mercusuar dunia dalam segala aspek.
Di antara penyebab kemajuan tersebut adalah
adanya asimilasi budaya antar bangsa. Fanatisme ke-arab-an yang melekat pada
zaman sebelum bani Umayyah mulai ditinggalkan dan diganti dengan prinsip
egaliterisme dalam segala aspek dengan diperkuat dasar-dasar agama sebagai
sendi Negara.
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan
bersifat desentrasi,. Kajian ilmu yang ada pada periode ini berpusat di
Damaskus, Kufah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya,
seperti: Basrah dan Kuffah (Irak), Damsyik dan Palestina (Syam), Fistat
(Mesir). Pada masa bani Umayyah, pakar pendidikan Islam menggunakan kata
Al-Maddah untuk pengertian kurikulum. Karena pada masa itu kurikulum lebih
identik dengan serangkaian mata pelajaran yang harus diberikan pada murid dalam
tingkat tertentu.
Sejalan dengan perjalanan waktu pengertian
kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala
aspek yang mempengaruhi pribadi siswa. Kurikulum dalam pengertian yang modern
ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta
evaluasi. Berikut ini adalah macam-macam kurikulum yang berkembang pada masa
bani Umayyah:
a) Kurikulum Pendidikan Rendah
Terdapat
kesukaran ketika ingin membatasi mata pelajaran-mata pelajaran yang membentuk
kurikulum untuk semua tingkat pendidikan yang bermacam-macam. Pertama, karena
tidak adanya kurikulum yang terbatas, baik untuk tingkat rendah maupun untuk
tingkat penghabisan, kecuali Alquran yang terdapat pada kurikulum. Kedua,
kesukaran diantara membedakan fase-fase pendidikan dan lamanya belajar karena
tidak ada masa tertentu yang mengikat murid-murid untuk belajar pada setiap
lembaga pendidikan.
Sebelum
berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam pendidikan Islam, tetapi tidak
hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah.[16]
Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti
oleh seluruh umat Islam. Dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan
menulis disamping Alquran. Kadang diajarkan bahasa, nahwu, dan arudh.[17]
Umumnya
pelajaran diberikan guru kepada murid-murid seorang demi seorang. Baik di
Kuttab atau di Masjid pada tingkat menengah. Pada tingkat tinggi pelajaran
diberikan oleh guru dalam satu halaqah yang dihadiri oleh pelajar bersama-sama.
Ilmu-ilmu yang diajarkan pada Kuttab pada mula-mulanya adalah dalam
keadaan sederhana, yaitu: belajar membaca dan menulis, membaca Al-Qur’an dan
menghafalnya, belajar pokok-pokok agama Islam, seperti cara wudhu, shalat,
puasa dan sebagainya. Ilmu-ilmu yang diajarkan pada tingkat menengah dan tinggi
terdiri dari: Al-Qur’an dan tafsirannya, hadis dan mengumpulkannya, serta fiqih (tasyri’).
b) Kurikulum Pendidikan Tinggi
Kurikulum
pendidikan tinggi (halaqah) bervariasi tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti
kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas untuk mengikuti pelajaran di sebuah halaqah
dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota
ke kota lain. Menurut Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang
dewasa karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk
mengajarkan mereka mengenai Alquran dan agama.[18]
Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, jurusan ilmu-ilmu
agama (al-ulum al-naqliyah) dan jurusan ilmu pengetahuan (al-ulum
al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini
sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam.
Kurikulum pertama adalah sejalan dengan fase dimana dunia Islam mempersiapkan
diri untuk mendalami agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian
pada agama ini tidaklah terbatas pada ilmu agama an sich, tetrapi dilengkapi
juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, hadits dan tafsir. Menurut Mahmud
Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir Alquran, hadits, fiqih dan ushul
fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[19]
Kurikulum kedua, yaitu kurikulum ilmu
pengetahuan. Ia merupakan cirri khas fase kedua perkembangan pemikiran umat
Islam, yaitu ketika umat Islam mulai bersentuhan dengan pemikiran Yunani,
Persia dan India. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum untuk pendidikan jenis ini
mantiq, ilmu alam dan kimia, music, ilmu-ilmu pasti, ilmu-ilmu ukur, ilmu-ilmu
falak, ketuhanan, ilmu hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan dan kedokteran. Ikhwan
Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
a)
Disiplin-disiplin umum: tulis-baca, arti kata
dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi) ilmu tentang tanda-tanda
dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan keterampilan
tangan, jual beli, komersial, pertanian dan perternakan, serta biografi dan
kisah.[20]
b)
Ilmu-ilmu Filosofis: matematika, logika, ilmu
angka-angka, geometri, astronomi, music, aritmatika, dan hokum-hukum geometri,
ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi
produksi, peleburan, dan elemen-elemen meterologi dan minerologi, esensi alam
dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, persepsi
inderawi, embriologi, manusia sebagai mikro kosmos, perkembangan jiwa (evolusi
psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi,
teologi-doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual, serta ilmu-ilmu alam
ghaib.
c)
Masuknya
ilmu-ilmu asing yang berasal dri tradisi Hellenistik ke dalam kurikulum
pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan
dimasjid, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di
perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah, dan Bait al-Hikmah. Syalabi
menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan,
diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.
3. Pendidik
(guru) Pada Masa Bani Umayyah
Dalam pendidikan Islam, guru mempunyai tugas
dan tanggung jawab yang berat sekaligus mulia. Keberhasilan seorang guru dalam
mengemban tugasnya, baik sebai murabbi maupun sebagai agen perubahan dalam
masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualifikasi dan kompetensi yang mereka
miliki.
a) Kompetensi Mengajar Guru Pada
Masa Bani Umayyah
Menurut Mas’ud Khasan Abdul Qohar (1990: 129)
Kompetensi adalah kekuasaan, wewenang atau hak yang didasarkan pada peraturan
tertentu. Sedangkan kompetensi mengajar menurut Uzer Utsman (1992) adalah
wewenang guru untuk melaksanakan tugas mengajar berdasarkan
persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya adalah syarat yang berkaitan
dengan fisik dan nonfisik.
Menurut Al-Qosqosamdi (dalam Nur Uhbiyati,
1997; 83) bahwa syarat untuk bisa menjadi seorang guru pada masa kekhalifahan
bani Umayyah secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 syarat:
Ø Syarat Fisik: bentuk badannya
bagus, manis muka (selalu berseri-seri), lebar dahinya dan bermuka bersih.
Ø Syarat Psikis: berakal sehat, hatinya beradab,
tajam pemahamannya, adil terhadap siswa, bersifat perwira, sabar dan tidak
mudah marah, bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya, perkataannya jelas
dan mudah dipahami, dapat memilih perkataan yang baik dan mulia, serta menjauhi
perbuatan yang tidak terpuji.
b) Pranata Sosial Guru
Menurut
Al-Jahiz (dalam Ziauddin Alavi, 1988: 69) guru dapat dklasifikasikan kedalam 3
golongan adalah:
Ø Guru-guru yang mengajar
sekolah kanak-kanak (mu’allim al-kuttab), para mu’allim kuttab (guru sekolah
anak-anak) mempunyai status sosial yang rendah. Hal ini disebabkan oleh
kualitas keilmuan mereka yang dangkal dan kurang berbobot. Namun tidak semua
demikian, ada sebagian diantara mereka yang ahli di bidang sastra, ahli khat
dan fuqaha. Mereka inilah golongan guru muallim al-kuttab yang dihormati dan
dihargai seperti: Al-Hajjaj, Al-Humaid, Abdil hamid Al-Katib, Atha bin Rabah
dan lain-lain.
Ø Para guru yang mengajar para
putra mahkota (Muaddib), berbeda dengan muallim al-kuttab, para muaddib
mempunyai status sosial yang tinggi, bahkan tidak sedikit para ulama yang
mendapat kesempatan untuk menjadi muaddib. Hal ini disebabkan karena untuk
menjadi muaddib diperlukan beberapa syarat, di antaranya adalah alim, berakhlak
mulia, dan dikenal masyarakat.
Ø Para guru yang memberikan
pelajaran di masjid-masjid dan sekolah-sekolah, guru-guru dari golongan ini
telah beruntung mendapat kehormatan dan penghargaan yang tinggi di hadapan masyarakat.[21]
Hal ini disebabkan penguasa mereka terhadap ilmu pengetahuan yang begit
mendalam (rasikh) dan berbobot. Di antara mereka adalah guru ilmu
syariat, ilmu bahasa, ilmu pasti dan sebagainya. Terdapat beberapa guru dari
golongan ini yang terkenal di kalangan masyarakat, diantaranya adalah Abul
Aswad Ad-Duali, Hasan Al-Basri, Abu Wadaah, Syuraik Al-Qadhi, Muhamad ibn
Al-Hasan, Ahmad ibnu Abi Dawud, dan lain sebagainya.
Guru-guru pada masa ini selalu dikelilingi oleh
para siswa yang datang dari berbagai pelosok wilayah dunia yang bertujuan
mendengarkan langsung kajian yang dibawakan gurunya. Sudah menjadi tradisi
Islam pada masa klasik (Umayyah-Abbasiyah) bahwa guru tidak pernah menentukan kapan
murid harus selesai belajar kepadanya, kecuali ia telah menyelesaikan kitab
yang dikajinya (khatam). Murid diberi kebebasan untuk belajar kepada
siapa saja dan kapan saja, bahkan guru tidak pernah menawarkan pelajaran secara
khusus yang harus diselesaikan oleh murid pada waktu tertentu.
Guru pada masa bani Umayyah memegang peranan
yang penting dalam proses pendidikan anak, mulai dari menentukan perencanaan
sampai melaksanakannya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila pada masa
ini disebut dengan teacher oriented. Selain itu, guru pada masa ini
secara teratur sudah melaksanakan tugas dan memberikan secara sungguh-sungguh
dan memperlakukan murid secara adil tanpa ada diskriminasi.
4.
Peserta Didik (Murid) Pada Masa Bani Umayyah
Anak didik merupakan salah satu dari komponen
pendidikan yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan. Tanpa anak
didik, pengajaran tidak akan terjadi. Istilah yang sering digunakan untuk
menunjukkan term student (siswa); yaitu tilmidz, (jamak: talamidz,
talamidzaat) yang berarti murid, dan thalib (seeker of
knowledge), (jamak: thalabah, thullab) yang berarti orang
yang menuntut ilmu-ilmu (agama), pelajar atau mahasiswa.
a.
Pengertian dan Batasan Murid
Murid adalah anak yang sedang berguru, yang
memperoleh pendidikn dasar dari satu lembaga pendidikan.
Di awal perkembangan Islam, para penuntut ilmu
tidak ada perbedaan. Ketika Rasulullah masih hidup, semua sahabat diberi
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tentang
ajaran Islam dari Rasulullah Saw.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaum Muslim
memerlukan tempat khusus untuk kegiatan belajar anak-anak mereka. Mereka
menjadikan kuttab sebagai tempat pendidikan dasar.[22]
Di kuttab para murid mendapatkan
pengajaran berupa keterampilan dasar, seperti membaca dan menulis Alquran dan
dasar-dasar agama.[23]
Menurut Hudgson, pendidikan tingkat dasar adalah tempat bagi murid untuk
belajar membaca dan menulis. Sementara menurut Stanton, pada abad pertama
hijriyah, pelajaran di sekolah tingkat rendah difokuskan pada menulis dan
membaca. Kemudian pada abad berikutnya, pelajaran berkembang dengan diajarkan
ilmu keagamaan, aritmatika, tata bahasa, syair dan sejarah.
Pada masa ini, tidak ada ketentuan pasti
tentang batasan umur bagi seseorang yang mau belajar di kuttab. Para murid yang
masuk kedalam pendidikan dasar ini bervariasi. Ada murid yang memasuki kuttab
berumur lima tahun, ada yang berumur tujuh tahun, bahkan ada yang berumur
sepuluh tahun. Bervariasinya umur murid yang memasuki kuttab, tampaknya
terkait dengan kesiapan mereka. Kesiapan itu bukan saja dari segi fisik dan
mental, tetapi juga dari segi ekonomi.
b.
Biaya dan Lama Belajar
Biaya selama di kuttab pada dasarnya dibebankan
kepada keluarga murid. Orang tua murid membayar dengan sejumlah uang yang
dibayar pada setiap minggu dan setiap bulan. Terkadang pembayaran itu dilakukan
dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang.[24]
Bagi murid yang berasal dari keluarga miskin, diberi kesempatan belajar secara
cuma-cuma.[25] Selain
itu ada juga orang tua murid yang menitipkan anaknya kepada seorang guru, dan
untuk biaya selama anaknya belajar, dia memberikan kepada guru tersebut
sejumlah harta/biaya.
Lama belajar di kuttab tergantung pada
kemampuan anak didik. Murid yang cerdas dan rajin dapat menyelesaikan
belajarnya dalam waktu relatif singkat. Sebaliknya, anak yang kurang cerdas dan
malas memakan waktu agak lama untuk menyelesaikan pelajaran. Meskipn demikian
umumnya masa belajar di kuttab kurang lebih lima tahun.[26]
Ukuran yang dijadikan dasar untuk kelulusan adalah murid menghafal Al-quran.
c.
Keadaan Murid
Menurut Mahmud Yunus, para murid di kuttab
belajar enam hari dalam seminggu. Belajar dimulai pada hari sabtu dan berakhir
pada hari kamis, waktu belajar dimulai pagi hari dan berakhir setelah selesai
shalat Ashar. Biasanya setelah selesai shalat zuhur para murid pulang ke rumah
untuk makan.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
para murid pada siang hari lebih banyak bergaul dengan guru dan para murid
lainnya di kuttab. Adapun murid yng berada dalam pemeliharaan seorang
guru, pergaulannya dengan seorang guru lebih lama dan murid-murid lain harus
pulang ke rumah setelah pelajaran selesai. Karena itu dapat diasumsikan bahwa
guru yang mengajar di kuttab adalah orang yang terdekat selain orang tua.
5.
Pendanaan Pendidikan Islam Pada Masa Bani Umayyah
Kelangsungan kegiatan suatu lembaga pendidikan
terkait dengan bermacam faktor. Dana adalah salah satunya dan dianggap
persoalan penting bagi keberlangsungan suatu lembaga pendidikan agar berbagai
aktivitas dapat dialkukan dengan semangat yang tinggi dan lebih beragam,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan output yang berbobot.
a.
Sumber Biaya Pendidikan Pada Masa Bani Umayyah
1)
Subsidi Pemerintah/Negara
Para penguasa dan pemimpin Muslim memiliki
perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa khulafaur Rasyidin.
Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan
pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model
pendidikan Islam ketika nabi berada di Madinah tersebar keluar madinah tersebar
luas keluar madinah sejalan dengan persebaran masjid.
Di daerah-daerah baru pada masa bani Umayyah
dimana bahasa Arab bukan bahasa pertama dan Alquran belm dikenal, pembangunan
lembaga pendidikan Islam, seperti kuttab dan masjid menjadi tujuan utama para
khalifah dan gubernur, sehingga biaya pembangunan ditanggung pemerintah. Banyak sekali dana
yang dialokasikan untuk mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah ini dengan
cara memberikan beasiswa yang besar kepada murid yang berhak menerimanya.
2)
Wakaf
Wakaf merupakan bagian dari ibadah dan hukum
Islam yang berkaitan dengan barang benda. Sebagai bagian dari sistem pendanaan
pendidikan, wakaf menjadi semacam lembaga yang terorganisir dengan baik dan
menjadi mode pada masa keemasan peradaban Islam (pada masa bani Abbasiyah).
Pemberian wakaf tampaknya memiliki kekuasaan
yang luas dan otoritas yang kuat dalam menentukan segala sesuatu berdasarkan
dokumen wakaf yang di buat secara formal. Dokumen ini menggambarkan materi
kekayaan yang menjadi wakaf dan mencantumkan cara penggunaan uang yang
dihasilkan dari investasi penyewaan atau penjualan aset tersebut. Di dalamnya
pemberi wakaf dapat menetapkan criteria syaikh dan pengajar yang harus
dipenuhi, kurikulum yang digunakan bahkan madhab yang dianut. Disamping itu
pemberi wakap menentukan satu atau beberapa orang yang bertanggung jawab untuk
mengelola wakaf tersebut. Walau demikian, dokumen wakaf dibuat sangat hati-hati
karena tidak boleh diubah setelah ditanda tangani. Pemberi wakaf pun tidak
boleh mengambil sedikit juga aset atau penghasilan wakaf tersebut.
Karena wakaf ini kebanyakan merupakan aset
ekonomi yang berjalan, seperti tanah pertanian, rumah, toko, kebun, kantor
dagang, pabrik, pasar, dan sebagainya, dana yang dihasilkan akan bervariasi
sesuai dengan kondisi pada waktu itu. Oleh karenanya, tingkat kehidupan para
pelajar dan pengajar yang di biayai oleh hasil wakaf berubah-rubah dari waktu
ke waktu. Walau begitu peran wakaf sangat membantu pelaksanaan pendidikan.
Dengan wakaf, umat Islam mendapatkan kemudahan dalam menuntut ilmu. Para
pelajar dan orang tua tidak terbebani dengan berbagai macam biaya yang diambil
untuk kegiatan pendidikan.
Contoh lembaga-lembaga pendidikan yang dihidupi
oleh sistem wakaf ini sangat banyak sekali ketika masa Islam klasik. Badr ibn
Hasanawaih Al-Kurdi, seorang bangsawan kaya yang menjadi gubernur, mendirikan
3000 masjid dengan akademi didalamnya. Masing-masing masjid memiliki asrama (Masjid
khan), pembiayaannya berasal dari wakaf. Wakaf Abdul Latief Al-Mansyur
berupa pondok dan toko untuk lima orang anak yatim serta pengajarnya, mereka
belajar membaca dan menghafal Alquran.
3)
Orang Tua
Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua
ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi orang tua murid.
Biaya ini juga mereflesikan kemajuan siswa. Sebab, disamping biaya pendaftaran,
biaya tambahan akan diambil ketika siswa telah menyelesaikan suatu paket
tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan nonfinansial, seperti
bahan pangan dan sandang sesuai dengan keadaan keluarga siswa tersebut.
Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan,
kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan nonkeagamaan,
seperti tata bahasa dan menulis. Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran
misi ilahi dilakukan dengan ikhlas. Biaya pendidikan nonagama berbeda-beda,
berkisar antara 500 sampai 1000 dirham pertahun. Kadang-kadang pembayaran
dilakukan dengan sejumlah bahan makanan sebagai pengganti uang yang dibayar
setiap minggu atau setiap bulan.
Orang tua yang berasal dari kalangan elit
bangsawan atau hartawan, tentu akan mengeluarkan harta yang lebih banyak,
ditambah dengan berbagai fasilitas lain, seperti tambahan buku-buku dan
perlengkapan lainnya.
4)
Siswa
Seorang ilmuan yang mengajar dimasjid atau
lembaga pendidikan lain diperbolehkan memungut uang dari siswanya. Biasanya
jumlahnya disepakati antara guru dan siswa tersebut serta dibayar pada masa
awal belajar. Ibrahim Al-Zadjdjadi misalnya, memperoleh uang dari pekerjaannya
sebanyak 1,5 dirham tiap hari. Kemudian ia pergi kepada Al-Mubarrid dan
membayar honornya sejumlah dua pertiga dari penghasilannya tersebut, ditambah
syarat lain, yaitu 1 dirham setiap hari sampai maut memisahkan mereka.
5)
Sumber Lain/Perorangan
Pandangan ilmu agama, terutama Alquran harus
diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya
tidak meminta dan menerima bantuan financial dari siapa pun. Mereka berusaha
untuk membiayai kegiatan pendidikan dan kehidupannya hanya dari hasil keringat
sendiri diluar pekerjaan mengajar. Abu Al-Abbas Al-Ashamm, salah seorang ulama
besar dan ahli hadis di Khurasan tidak mau menerima upah ketika mengajarkan
hadits. Beliau memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil usaha sendiri.[27]
Literatur Arab menceritakan banyak sekali cerita-cerita
yang menggambarkan bahwa para pengajar dan pendidik yang miskin sekalipun duduk
memberikan pelajaran kepada masyarakat tanpa mengharapkan bayaran sedikit pun.
Kamaluddin Abu Al-Barakat Al-Anbary, seorang ahli fiqih dan nahwu, misalnya
senantiasa membukakan pintu rumahnya bagi para penuntut ilmu, semata-mata
karena Allah. Bahkan guru-guru yang mengajar kanak-kanak pun tidak menerima
bayaran apa-apa seperti Al-Dhahak ibn Muzahim dan Abdullah ibn Harits, bahkan
mereka bersedia membiayai sendiri kegiatan pendidikan tersebut.
Di samping para pengajar yang mempunyai
keinginan dan kesadaran diatas, banyak para hartawan dan dermawan yang
mengeluarkan sejumlah dana untuk membiayai berbagai lembaga pendidikan dan
kegiatannya.
b.
Pola Pengelolaan Dana Pendidikan
1)
Sentralisasi
Yang dimaksud dengan sentralisasi di sini
adalah dana pendidikan direncanakan dan dikelola oleh birokrat atau pemegang
otoritas kekuasaan, bukan lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Sejarah pendidikan Islam yang panjang
menunjukan bahwa lembaga-lembaga pendidikan formal yang didanai oleh Negara,
tidak memiliki otoritas untuk untuk mengatur sumber keuangan yang memang tidak
dimilikinya. Semua keperluan pendidikan akan dipenuhi oleh pemerintah melalui
khas Negara atau Bait al-mal. Sehingga, nafas kehidupan lembaga
endidikan tersebut akan mengembang atau mengempis sesuai dengan kebijakan
pemerintah terhadap sector pendidikan.
2)
Desentralisasi
Sistem desentralisasi keuangan pendidikan
merupakan pola manajemen keuangan pendidikan yang bukan hanya berorientasi pada
kebutuhan rill lembaga tersebut dalam segala perubahannya, tapi juga
pengelolaannya tidak memiliki otoritas mutlak dalam kerjanya (fleksibel dan
partisipatif).
Pola ini dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
a)
Tradisional
Dalam corak ini, biaya yang
diperoleh biasanya dipakai tanpa perencanaan yang jelas dan jauh terarah.
Berbagai keperluan operasional pendidikan akan dapat terpenuhi ketika ada pemasukan dari sumber-sumber
biaya, seperti orang tua siswa, murid, dermawan, atau pengajar itu sendiri.
Tatkala sumber-sumber biaya tersebut kering, maka tertahanlah berbagai
kebutuhan pendidikan itu.
Lembaga-lembaga pendidikan
nonformal banyak yang memakai pola pengelolaan desentralisasi dengan corak ini.
Kuttab yang tersebar di berbagai macam lokasi misalnya, banyak yang
diselenggarakan secara sederhana tanpa campur tangan pemerintah dengan roti
sebagai pemasukan ditambah sedikit uang pada masa khatam Alquran. Para ulama
yang menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar pun tidak pernah mengelola
input sukarela ditangannya dengan perencanaan dan manajemen yang terarah. Ia
hanya akan memenuhi kepentingan operasional pendidikannya saat itu dengan dana
yang tersedia, atau ditambah dengan dana dari kantongnya sendiri maupun
tambahan yang dicari.
b)
Non-Tradisional
Corak ini merupakan
antisintesis corak tradisional. Dana yang masuk dikelola melalui rencana yang
terarah sesuai kondisi lembaga pendidikan bersangkutan dan oleh penyelenggara
lembaga pendidikan tersebut.
Sistem wakaf dapat menjadi
contoh corak ini. Jika dalam dokumennya pemberi wakaf tidak mengharuskan
dirinya, keluarganya, atau orang-orang tertentu diluar penyelenggara lembaga
pendidikan tersebutsebagai pengelola wakaf, juga ketentuan-ketentuan ketat
pengguna hasil dana wakaf yang tidak fleksibel hingga tidak sesuai dengan
berbagai perubahan kondisi lembaga pendidikan tersebut.
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Pada masa daulah Bani Umayyah ini pendidikan
berkembang pesat dalam berbagai aspek. Diantaranya, semakin bertambahnya
khazanah keilmuan yang dikaji dan dipelajari dan improvisasi pemerintah untuk
memasukkan dan mengasimilasi beberapa budaya helenisme dan budaya negara-negara
lain sehingga banyak membawa perubahan dalam kurikulum pendidikan Islam.
Klasifikasi pendidik dan lembaga pendidikanpun mulai jelas dan
menonjol-meskipun masih belum serapi zaman sekarang-sehingga menimbulkan
pesatnya ilmu-ilmu baru yang lebih mudah untuk dikuasai dan didapatkan.
B. Saran
-
Masuknya budaya helenisme dan negara-negara
lain ke dalam negara islam patut kita jadikan pijakan atau cermin bagi kita
untuk mengadopsi berbagai nilai-nilai positif itu demi kemajuan islam.
-
Sangat menarik ketika lembaga-lembaga, baik
swasta maupun negeri, juga bisa dijadikan sebagai lembaga pendidikan, sehingga
siswa bisa langsung praktek lapangan untuk merekonstruksi teori-teori yang
dipelajarinya.
[1] Hanafi, Ahmad, Pengantar Theologi Islam,
Jakarta: Al-Husna Zikra, 2001. Hal 63.
[2] Abbas, Sirajuddin, I’tiqad Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008. Hal 216.
[3] Yatim, Badri, Historiografi Islam,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Hal 79.
[4] M. Ayoub, Mahmoud, (terj.) The Crisis of
Muslim History, Bandung: Mizan, 2004. Hal 93.
[5] Charles Michael Stanton, Higher
Learning in Islam: the Classical Period, AD 700-1300, Maryland, 1990, hlm
122.
[6]Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam
pada Abad Pertengahan, Canada: Montreal, 2000, hlm. 12.
[7]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1997, hlm. 89.
[16] Untuk mempermudah pengklasifikasian, penulis
menghindar dari polemik apakah kuttab itu pendidikan rendah dan halaqah adalah
pendidikan tinggi. Disini kuttab diidentikan dengan pendidikan rendah atau
untuk anak-anak dan halaqah sebagai pendidikan tinggi.
[24] Ahmad Sjalaby, Sejarah
Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latief, Jakarta: Bulan
Bintang, 1973, hlm. 231.
[25] Asma Hasan Fahmi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 32.
0 komentar:
Posting Komentar
Monggo komentar disini ^_^